Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni berdasarkan asal ujung sanad, keutuhan rantai sanad, banyak periwayat serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan). Oleh karena itulah, kita juga harus mengetahui macam-macam hadist. Hal ini lantaran banyaknya hadist yang berasal dari sumber yang rancu maupun kalangan palsu. Supaya menambah pengetahuan kita mengenai macam-macam hadist, berikut ini penjelasan lengkap macam-macam hadist sesuai klasifikasinya.
Berdasarkan Kuantitas Sanad
-
Hadits Mutawatir
-
Pengertian
Dari segi bahasa kata mutawatir berasal dari kata ”Tawaatur” yang berarti datangnya satu setelah satu dengan adanya jarak antara keduanya, atau ”at-tatabu’”yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Hadits mutawatir dari segi terminologis mempunyai banyak definisi. Menurut Nurudin Nurudin Itr hadits mutawatir adalah:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indera.”
Sedang menurut Ajjaj al Khatib, hadits mutawatir adalah:
“Hadits yg diriwayatkan oleh sebagian besar perawi yang menurut adat mereka tidak mungkin bersepakat dusta dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.”
-
Syarat
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Hadits yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan perowi. Apabila berita itu merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
-
Diriwayatkan oleh perowi yang banyak. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. Perbedaan itu adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
- Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
- Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
- Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah QS. Al-Anfal: 6.
- Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.
-
Faedah
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta.
Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
-
Macam-macam
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi 3 macam, yaitu :
-
Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi adalah hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya.
Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sebagaimana hadits dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW yang berbunyi:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. رواه البخارى
“Barang siapa yang sengaja bedusta atas namaku maka hendaklah tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)
-
Mutawatir Maknawi
Yang dimaksud dengan hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum.
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya. Contoh hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang menerangkan tentang kedudukan niat dalam perbuatan.
Hadits-hadits semacam ini banyak sekali meskipun terdapat dalam berbagai kasus. Contoh lain hadis Nabi saw yang berbunyi:
ما رفع صل الله عليه وسلم يديه حتي رؤي بياض إبطيه في شيئ من دعائه إلا في الإستسقاء ) متفق عليه
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakhrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبيه
”Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
-
Mutawatir ‘Amali
Hadits mutawatir ‘amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam. Bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atas selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh: berita-berita yang menerangkan waktu raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma’.
-
Mutawatir Lafdhi
-
Pengertian
-
Hadis Ahad
-
Pengertian
Secara etimologi kata “الآحاد” adalah bentuk jamak dari kata “أحد”yang berarti “satu”. Adapun pengertian Hadis Ahad menurut istilah ialah hadis yang tidak sampai pada derajat mutawatir. Sebagaimana yang diapaparkan ulama berikut ini:
ما لم يجمع شروط المتواتر
“Suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”
ما لم تجتمع فيه شروط المتواتر فيشمل ما رواه واحد في طبقة أو في جميع الطبقات، وما رواه اثنان وما رواه ثلاثة فصاعدا ما لم يصل إلى عدد التواتر
“Suatu hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir di dalamnya, maka setiap hadis yang di riwayatkan oleh satu rowi di setiap thobaqoh atau di semua thobaqoh. Dan setiap hadis yang di riwayatkan oleh dua atau tiga rowi atau lebih dan belum sampai pada batas mutawatir”
-
Pembagian
-
Hadits Masyhur
Menurut masyhur berasal dari kata شهر yang berarti اعلن yang berarti mengumumkan.
Secara terminology hadits masyhur adalah:
ما رواه ثالثة فاكثر ولم يصل درجة التواتر
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat mutawatir”.
Kemasyhuran sebuah hadis tidak mesti mencakup semua kalangan ulama. Hadis dapat dapat saja masyhur di kalangan ulama tertentu, dalam hal ini hadis masyhur di kalangan ahli hadis, contohnya:
عن انس بن ما لك : قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا بعد الركوع في صالة الصبح يدعو على رعل وذكوان ) رواه البخارى ومسلم
“Rasulullah saw melakukan qunut selama satu bulan setelah ruku’, untuk mendo’akan hukuman atas (kejahatan) penduduk Ri’l dan Dzakwan”. (HR Bukhori dan Muslim)
-
Hadits Masyhur
-
Hadits Aziz
Dari segi bahasa kata aziz adalah bentuk sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang. Bisa juga berasal dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti kuat atau keras (sangat). Suatu aziz dinamakan dengan hadits aziz adakalanya karena sedikitnya perawi
Secara istilah, hadits aziz adalah:
ما لا يقل رُواته عن اثنين في جميع طبقات السند
“Hadits yang diriwayatkan setidaknya oleh dua orang perawi pada tiap tingkatan sanadnya.”
Menurut istilah, hadis azis adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang meskipun hanya pada satu tingkatan (generasi) saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang. Jadi bisa saja sanad sebuah hadis ‘azis terdiri dari dua dua orang pada setiap generasi, atau hanya pada satu generasi dari sanad hadis itu yang terdiri dari dua orang, sedang pada generasi sesudahnya terdiri dari banyak orang.
contoh hadis aziz
عَنْ أَنَس رضي الله عنه قال: قال النَّبِيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِه وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tidaklah seorang di antara kalian beriman, sehingga aku menjadi orang yang paling dia cintai. Dibandingkan ayahnya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan
Pada tingkatan shahabat: Hadits itu diriwayatkan oleh dua orang shahabat, yaitu: Anas dan Abu Hurairah. Lalu pada tingkatan tabi’in: Hadits di atas diriwayatkan dari Anas kepada dua orang perawi, yaitu: Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Pada tingkatan tabi’ut tabi’in: Dari Qatadah itu diriwayatkan kepada dua orang perawi juga, yaitu: Syu’bah dan Sa’id. Dari Abdul Aziz itu diriwayatkan kepada dua orang perawi pula, yaitu: Ismail bin ‘Ulaiyah dan Abdul Warits. Lalu setelah itu, masing-masing dari para perawi itu diriwayatkan kepada banyak perawi.
-
Hadits Gharib
Kata gharib, secara bahasa merupakan bentuk sifah musyabbahah dari kata gharaba’ yang berarti infrada (menyendiri). Juga bisa berarti jauh dari tanah airnya. Disamping itu juga bisa diartikan asing, pelik atau aneh. Dengan demikian hadits gharib dari segi bahasa adalah hadits yang aneh.
Secara istilah, para ulama mendefinisikan Hadits Gharib sebagai berikut:
مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja.”
Definisi ini memungkinkan kesendirian seorang perawi baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingklatan sanad, bahkan mungkin hanya pada satu tingkatan sanad saja.
Hadis gharib dibagi menjadi dua macam:
-
Gharib Mutlak
ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده
“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi pada asal sanad” (tingkatan sahabat).
contoh gharib mutlak
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari Muslim)
Penjelasan
Hadits di atas hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab. Tidak ada seorang pun shahabat lain yang meriwayatkannya. Hadits itu termasuk Hadits Gharib Muthlaq. Karena hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat. Setelah itu boleh jadi diriwayatkan oleh satu orang Tabi’in maupun banyak tabi’in, maka hadits itu merupakan Hadits Gharib Muthlaq.
-
Gharib Nisbi
ما كانت الغرابة في أثناء سنده أي: أنْ يرويَه أكثر من راوٍ في أصل سنده، ثم ينفرد بروايته راوٍ واحد عن أولئك الرُّواة
“Terjadinya keghariban itu pada pertengahan sanad. Maksudnya: pada awalnya hadits itu diriwayatkan oleh beberapa shahabat, namun kemudian diriwayatkan hanya oleh seorang Tabi’in.”
contoh gharib nisbi
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَن النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ مَكةَ عَامَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ مِغْفَرٌ، فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ، فَقَالَ: اقْتُلُوهُ
Artinya : Dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ memasuki Makkah pada tahun Al-Fath (Tahun pembebasan Mekah / Fathu Makkah) dan di atas kepalanya terdapat pelindung kepala dari baja (mighfar). Ketika beliau melepas mighfar-nya, datanglah seorang pria menghadap beliau, lalu berkata, “Ibnu Khathal bergantungan di kain selubung Ka’bah.” Nabi ﷺ bersabda, “Bunuh dia.” [Hadits riwayat Al-Bukhari (1846), Muslim (1357)]
Hadits itu termasuk Hadits Gharib Nisbi. Karena hadits itu hanya diriwayatkan hanya oleh Malik, dari Zuhri, dari Anas.
-
Gharib Mutlak
Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis masyhur antara lain: Al-Maqashid al-Hasanah fi Ma Isytahara’ala al-Alsianah, karya al-Sakhawi. Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Albas fi Ma Isytahara min al-Hadis ‘ala Alsinat al-Nas, karya al-‘Ijlawani Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits fi Ma Yadur ‘Ala Alsinat al-Nas min al-Hadis, karya Ibn Daiba’ al-Syaibani
-
Pengertian
Berdasarkan Kualitas Sanad
Lanjut? Klik Disini
Referensi:
Muhammad Al Shabbag, al Hadits an Nabawi, Musthalahul, Balaghah, ‘Ulumuh, Kutubuh, (ttp, Masyurat al Maktabah al Islami, 1972)
Taisir fi Musthalah Hadits, oleh Syeikh Mahmud ath-Thahhan.
Khusniati Rofiah, (2018), Studi Ilmu Hadis, Ponorogo: IAIN PO Press