Berdasarkan Kualitas Sanad

  1. Hadits Ahad yang Maqbul
    1. Pengertian

      Secara terminologis, hadits maqbul didefinisikan dengan “ Hadits yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya”. Ibnu Hajar al Asqalani mendefinisikan dengan :“Hadits yang ditunjuk oleh suatu keterangan atau dalil yang menguatkan ketetapannya”

    2. Syarat

      Syarat-syarat suatu hadits agar dapat dikatakan maqbul ada yang berkaitan dengan sanad dan ada yang berkaitan dengan matan.

      Yang dimaksud dengan sanad, syarat-syarat itu adalah antara lain sanadnya harus bersambung, masing-masing sanad tersebut harus adil dan dhabit, serta tidak ada illat yang mencacatkannya.

      Sedang syarat yang berkaitan dengan matan, maka tidak boleh ada kejanggalan (syudzudz) dalam matannya. Jika boleh ada kejanggalan pada suatu hadits, dan terpenuhi syarat-syarat di atas, maka hadits tersebut oleh para ulama disebut shahih, atau sekurang-kurangnya hasan, yang berarti dapat diterima kehujjahannya

  2. Hadis Ahad yang Mardud
    1. Pengertian

      Kata mardud secara bahasa berarti yang ditolak, yang tidak diterima, atau yang dibantah. Maka hadits mardud menurut bahasa berarti hadits yang ditolak, atau hadits yang dibantah.

      Secara terminologis, hadits mardud didefinisikan dengan: “hadits yang hilang seluruh syarat-syaratnya atau sebagiannya”. Dalam definisi lain disebutkan bahwa kebenaran pembawa berita pada hadits mardud itu tidak sampai kepada derajat hadits maqbul. Dalam hal ini yang tergolong pada kategori hadis ini adalah hadis dhaif

  3. Hadits Shahih
    1. Pengertian

      Kata shahih menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).

      Maka kata hadiys shahih menurut bahasa, berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat. Secara terminologis, shahih didefinisikan oleh Ibn Shalah sebagai berikut:

      المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شادا ولا معللا

      “Hadits yang disandarkan kepada nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”

    2. Syarat
      1. Diriwayatakan oleh para perawi yang adil

        Dalam periwayatan seseorang dikatakan adil apabila memiliki sifat-sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya, baik aqidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan dosa kecil, dan terpelihara akhlaknya termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah, d isamping ia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan tidak fasik.

        Keadilan para perawi di atas menurut para ulama dapat diketahui melalui:

        Pertama, keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri sikenal di kalangan ahli hadits, sehinggga keadilannya tidak diragukan lagi.

        Kedua, penilaian dari para ulama lainnya, yang melakukan penelitian terhadap perawi, tentang keadilan perawi-perawi hadits.

        Ketiga, penerapan kaidah al jarh wa at ta’dil, apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama peneliti terhadap perawi-perawi tertentu

      2. Kedhabitan para perawinya harus sempurna

        Dikatakan perawi yang sempurna kedhabitannya yang dimaksud disini, ialah perawi yang baik hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, dan tidak banyak tersalah, sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadits-hadits yang diterima dan diriwayatkannya.

        Menurut Ibn Hajar al Asqalani, perawi yang dhabit adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, yang kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini berarti bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu memproduksi atau menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.

        Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua, yaitu: pertama, dhabit shadr atau disebut juga dengan dhabit fuad, dan kedua, dhabit kitab. Dhabit shadr artinya terpelihara hadits yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima hadits tersebut sampai meriwayatkan kepada orang laian, kapan saja periwayatan itu diperlukan. Sedang dhabit kitab, artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya. Ia mengingat betul hadits-hadits yang ditulisnya atau catatancatatan yang dimilikinya, menjaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.

        Ahli hadis menggunakan kata tsiqoh, untuk menunjukkan penilaian baik mereka terhadap orang yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adil) dan sistem dokumentasi (dhabth) yang sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama (‘adil) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu juga sebaliknya. Kedua syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari ahli hadis.

      3. Antara satu sanad dengan sanad lainnya harus bersambung.

        Yang dimaksud dengan sanad hadits yang muttashil di sini adalah sanad-sanad hadits yang antara satu dengan yang lainnya. Pada sanad-sanad yang disebut berdekatan atau berurutan , bersambungan atau merangkai.

        Dengan kata lain diantara pembawa hadits dan penerimanya terjadi pertemuan langsung. Dengan persambungan ini sehingga menjadi silsilah atau rangkaian sanad yang sambung menyambung sejak awal sanad sampai kepada sumber hadits itu sendiri, yaitu Rasul SAW.

        Untuk membuktikan apakah antara sand-sanad itu bersambung atau tidak, diantaranya dilihat bagaimana keadaan usia masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu bagaimana pula cara mereka menerima dan menyampaikannya. Misalnya apakah dengan cara as sama’ (mendengar langsung dari perawi hadits itu), atau dengan cara munawalah (seorang guru memberikan hadits yang dicatatnya kepada muridnya).

      4. Tidak mengandung cacat atau ‘illat

        Secara terminologis, yang dimaksud dengan ‘illat disini adalah suatu sebab yang tidak nampak atau smar-samar yang dpata mencacatkan keshahihan suatu hadits. Maka yang disebut hadits tidak berillat berarti hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang kelihatannya samar-samar.

      5. Matannya tidak janggal atau syad.

        Yang dimaksud dengan hadits yang tidak syadz disini, ialah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya. Hadits yang syadz pada dasarnya merupakan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah. Akan tetapi karena matanya menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tinggi ketsiqahannya, maka hadits itu dipandang menjadi janggal atau syadz. Dengan demikian, maka kedudukan hadits ini dipandang lemah dari sudut matanya

    3. Pembagian
      1. Shahih Lidzatihi

        Yang dimaksud dengan hadits shahih lidzatihi ialah hadits shahih dengan sendirinya. Artimya ialah hadits shahih yang memiliki lima syarta kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas.

      2. Shahih Lighairihi

        Yang dimaksud dengan hadits shahih lighairihi ialah hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain. hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya (qalil adh-dhabit).

      3. Diantaranya perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadits shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadits hasan li dzatih.

        Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan atau sanad lain) yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya. Hadits ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li ghairih.

    4. Kehujjahan

      Para ulama sependapat bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.

      Para ulama dalam hal ini terbagi kepada beberapa pendapat, antara lain: pertama, menurut sebagaian ulama memandang bahwa hadits-hadits shahih riwayat Al Bukhari, Muslim memberikan faedah qath’i. Menurut sebagian ulama lainnya, antara lain ibnu Hazm bahwa semua hadits shahih memberikan faedah qath’i tanpa dibedakan diriwayatkan kedua ulama diatas atau bukan. Menurut Ibnu Hazm, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan yang meriwayatkannya. Semua hadits jika memenuhi syarat keshahihannya adalah sama dalam memberikan faedahnya.

  4. Hadits Hasan

    KLIK DISINI Untuk Melanjutkan